CERPEN " My Facebook " Karya Linda Safarina
My
Facebook
Oleh:
Linda Safarlina
Berawal
dari facebook baruku, kau datang dengan cara tiba-tiba
Bekas
kekasih lama yang hilang, satu dari kekasih yang terbaik
Mungkin
waktu yang kupersalahkan, mungkin saja keadaan yang salah
Terpikir
hati untuk mendua, tapi nurani tak bias mendua
Kuhanya
bisa membagi kisah-kisah lama
Kuhanya
bisa membagi cerita nostalgia
Hanya
itu yang kuberikan, hanya itu yang kubisa persembahkan
Karna
aku ada yang punya, tapi separuh hati ini untukmu
Kubisa
saja putuskan dia, kubisa menutup semua cintaku
Tapi
apakah kaupun setuju, menyakiti seorang manusia….
Kuikuti alunan merdu Arman Maulana
dan kuresapi maknanya. Kutelusuri kembali apa yang membuatku gelisah dan
terpuruk seperti ini. Lima bulan yang lalu, facebook begitu ramai dibicarakan.
Temen-temen di kantorku menjadi demam facebook. Termasuk aku. Seminggu setelah
membuat alamat facebook, dia datang menyapaku di beranda fbku.
Aldi, lelaki yang delapan tahun lalu
mengisi hatiku, dialah yang dulu kuharapkan menjadi suamiku. Aldi, mantan
kekasih yang selalu kudamba kehadirannya meski kini aku telah berdua dengan
yang lain. Dia pun telah menjadi milik wanita lain. Aldi datang di beranda fbku
dengan sapaan yang lembut dan wajah yang berbeda. Tampak gagah dan wibawa.
Sungguh! aku jatuh cinta lagi. Atau mungkin cinta yang dulu sebenarnya tidak
pergi, hanya kusimpan. Dan saat pemiliknya datang dengan mudah aku
mengembalikannya?
“Telah lama kucari kabar tentangmu,
tak kutemukan juga. Akhirnya bertemu di FB, apa kabar? Itu jagoan kecilmu?
Manis seperti mamanya.” Kubuka dan kubaca lagi pesan dinding darinya. Ia mengomentari
fotoku, saat itu yang kujadikan profil adalah fotoku bersama anak pertamaku,
Raffi.
“Hai ! Alhamdulillah, kabarku baik. Iya,
itu Raffi, anakku. Apa kabarmu?” Aku membalas pesannya dengan hati riang waktu
itu, semangat hidupku bertambah. Walau rasanya tak percaya tapi aku bahagia.
Sepanjang hari itu, jantungku berdetak kencang. Untung aku tak punya kelainan
jantung. Jadi aman2 saja hidupku. Sebentar2 mulutku medesahkan nama Aldi. “Oh Aldi”,
tidak mimpikah aku bertemu denganmu lagi?” Padahal kami belum bertatap muka,
hanya komunikasi di fb, tapi serasa bertemu dengan Aldi.
Esoknya kami chatting. Saling bercerita masa delapan tahun berpisah. Apa yang
kukerjakan dan apa yang ia kerjakan. Cerita kami berujung dengan pertengkaran.
Iya, kami saling mengungkit kesalahan masa lalu kami hingga kami akhirnya
berpisah. Pertengkaran layaknya sepasang kekasih. Karena setelah bertengkar
kami saling cemas. Masihkah dia mau menyapaku? Sehari berlalu tanpa SMS atau
pesan di FB darinya. Aku pengin minta maaf tapi gengsi di hati menghalanginya.
Kukuatkan diriku mengharap Aldi menyapa lagi. Hatiku tak tenang semua yang
kulakukan selalu salah.
“Kok, adem, Ma, mendoannya. Tak ada rasanya?”Kata suamiku saat sore hari,
hujan rintik2 dan dia minta dibuatkan mendoan.
“Ya ampun, lupa ngasih garam!” seruku. Untung saja baru tiga mendoan yang ku goreng.
Aku segera memberi garam ke atas adonan dan mengaduknya . Kucicipi rasanya pas.
Maka kulanjutkan lagi menggorengnya. Sepiring mendoan segera ku hidangkan ke hadapan
suamiku yang sedang menonton TV bersama anakku.
“Ya ampun, Ma ! asin banget !” seru
suamiku. Aku yang sedang mencuci piring di dapur segera beranjak menuju
suamiku.
“Masa sich? “ .
“Cobain dech”. Kuambil satu mendoan,
kugigit, kemudian kukunyah. Yah, asin sekali mendoanku. Aku tersenyum dan
tertawa wkwkwkw. Suamiku menarik tanganku , aku pun terjatuh di pangkuannya.
“Mama nggak ikhlas ya membuatkan aku
mendoan “.
“Aku hanya kurang konsenterasi saja”.
“Mama mikir apa sich?”
“Tak ada!”
“Bohong”. Aku tersenyum menatapnya,
dan mengusap pipinya sambil menggelengkan kepala.
Malam menunjukkan pukul 21.00 wib.
Anakku sudah terlelap. Suamiku sedang pergi bersama teman kerjanya. Kubuka
fbku. Dua kotak masuk kuterima. Keduanya dari Aldi. Betapa girangnya hati ini.
Kubuka kotak pertama. Hanya berisi gambar bunga. Kubuka kotak kedua. Berisi
pesan.
“Maafkan aku. Tak seharusnya kita
bertengkar. Aku bahagia sekali bertemu denganmu. Sangat bahagia.” Gombal
banget. Meski begitu hatiku berbunga-bunga seperti bunga yang dikirim Aldi
fbku. Segera kutulis balasan.
“Itu bunga yang tak sempat kau
berikan padaku, ya?” tak lama kemudian Aldi membalasnya.
“Dulu aku tak punya cukup uang untuk
membelinya.”balas Aldi.
Mengetahui Aldi sedang online, kami pindah ke chatting.
“Sekarang sudah kaya dan mampu
membelinya, begitu?!”
“Tunggu saja. Akan kuberikan
padamu.”
“Istrimu tak cemburu?”
“Ia tak peduli padaku.” Aldi mulai
mengeluh.
“Jangan begitu. Mana ada istri yang
tak cemburu suaminya mesra pada wanita lain.”
“Munik.”
“Aldi.”
“Kau mencintai suamimu?”
“Kenapa kau Tanya seperti itu? Apa
kau tak mencintai istrimu?”
“Aku menikah dengannya karena wanita
yang kucintai sudah tak mungkin lagi kumiliki.”
“Kenapa?”
“Telah menikah dengan yang lain. Munik,
tak sadarkah kau, begitu banyak kemiripan di antara kita?”
“Oya?”
“Alis yang tebal, bulu mata yang
lentik, rambut ikal, dan satu lagi..”
“Apa tuch.”
“Perhatikan. Di pojok kiri atas
bibirmu dan bibirku ada setitik noda hitam yang biasa disebut tahi lalat.”
“Aku tak percaya, sedetil itu kau
memperhatikanku.”
“Kukira dulu kaulah jodohku.”
“Maafkan aku.”
“Sebentar lagi suamimu pulang. Sudah
ya. Selamat malam. Selamat tidur.” Laptop sudah kututup. Aku bersiap tidur.
Terbayang di benakku masa indah bersama Aldi kemudian terlelap.
***
Kehadiran Aldi di rumahku dengan
bunga di tangannya sungguh mengejutkanku. Aku nyaris mati berdiri. Sungguh.
Saat itu suamiku sedang bekerja. Ibu mertuaku juga sedang pergi. Anakku sedang sekolah paud. Di rumah tinggal
aku dan bapak mertua. Tak lama pertemuan kami. Hanya 10 menit. Aldi hanya
mengantarkan bunga untukku. Mungkin juga untuk membuktikan bahwa kini ia telah
mampu membelinya. Namun, aku menolak bunga pemberian Aldi. Aku tak tahu harus
menjawab apa pada suamiku bila ia bertanya tentang bunga ini. Bapak mertuaku pun
telah melihatnya.
“Ok. Aku tahu apa yang kau pikirkan.
Kalau bunga ini tak membuatmu nyaman tak perlu kau terima. Aku membawa kue
untukmu.” Ia segera mengambil kue di mobilnya. “Selamat Ulang tahun. Semoga
bahagia.” Ucapnya. Aku terperangah. “Besok ulang tahunmu, kan?” aku mengangguk
tersenyum.
“Terima kasih.” Aldi berlalu dari
hadapanku.
***
Di kantor aku tak bisa
menyembunyikan kebahagian ini. Rasanya selalu ingin tersenyum. Tak percaya
dengan apa yang terjadi. Ternyata dari sekian banyak teman di kantor ada yang
memperhatikan berubahan sikapku. Siapa lagi kalau bukan sahabatku yang cerewet,
jail, nyebelin, sok tahu, dan juga ngangenin….Linda Saflin.
“Jatuh cinta, po?” begitu sapanya.
Tentu saja aku tersenyum bahkan hampir tertawa.
“Lagi happy.”
“Aku tahu. Apa yang membuat wajahmu
tampak happy, itu yang ingin kutahu.”
“Ada saja.”
“Ah,” desahnya. “Aku tahu. Ketemu
mantan pacar di fb.”
“Ssssttt.” Aku segera menutup
bibirku dengan telunjuk jariku sebagai isyarat diam. Aku tak percaya Linda menebak seperti itu… Ah.
Linda memang sok tahu. Tapi, aku butuh tempat curhat. Pada siapa lagi kalau
bukan Linda? Suami? Alamat perang dunia ke 100 dech.
Tak ada yang kusembunyikan dari
Linda…Eit bohong. Maksudku hanya Linda yang tahu hubungan persahabatanku
(cieile) dengan Aldi.
***
Sudah lima bulan ini aku
berkomunikasi lagi dengan Aldi. Kami saling curhat tentang keluarga kami
masing-masing. Aldi yang tak harmonis dengan istrinya. Aku juga yang sering tak
sepaham dengan suami. Awalnya kami saling menasihati supaya sabar menghadapi
pasangan. Tetapi akhir-akhir ini masalah yang menimpa Aldi begitu rumit. Hingga
ia sering kali mengeluh dan meminta pertimbangan untuk mengakhiri hubungan
dengan istrinya. Aku jadi kasihan. Meski begitu berat beban hidupnya, ia tampak
survive aja. Benar nggak ya, yang ia ceritakan padaku? Ia bilang istrinya seringkali
menyepelekannya. Tidak menghargainya sebagai seorang lelaki dan seorang suami.
Mendengar cerita Aldi, tampaknya istrinya seorang yang kurang bersyukur. Aldi telah
memberikan pada istrinya apa-apa yang kuingkan dari suamiku. Ugh!
“Andai kau istriku. Kita tentu sudah
bahagia, Munik.” Kata Aldi suatu ketika. “Mungkinkah kita bisa bersama lagi?”
lanjutnya.
“Maksudmu?” jawabku pura-pura bego.
“Lupakan.” Jawabnya singkat.
Pembicaraan kami selesai. Terasa menggantung memang. Esoknya kami berkomunikasi
lagi dengan topik yang berbeda. Ia tampak biasa, seolah tak menyimpan masalah
berat. Giliran aku yang mengeluh padanya.
“Suamiku kekanak-kanakan. Tak bisa
mengambil keputusan sendiri. Juga kurang peka terhadap keputusan rumah tangga.
Kami kan masih tinggal di PMI alias pondok mertua indah aku ingin suamiku
segera mencari rumah untuk tempat tinggal kami, tetapi suamiku tidak pernah
memikirkan itu. Ia lebih mengutamakan hobinya. Mengutak-atik hp dan ngeband.”
Keluhku panjang lebar.
“Kamu mencintainya, kan, Munik?” Aku
sungguh ragu menjawabnya.
“Ya cintalah.”
“Kalau begitu bersabarlah. Atau
barangkali kamu terlalu dewasa. Cobalah kamu bersikap kekanak-kanakkan. Suamimu
pasti akan bersikap dewasa.”
“Masa sich.”
“Coba saja.”
Begitulah kami, saling menasihati
kala dilanda kegundahan saling mengingatkan untuk menjaga kesehatan, saling
mendoakan, dan saling….merindu, menyayang.*halah.
Aldi cerita bahwa kini istrinya
mulai memperhatikannya. Mengajaknya berlibur dan berbelanja. Bagiku itu biasa.
Tapi bagi Aldi itu luar biasa. Kini Aldi mulai jarang menghubungiku. Hanya
sesekali SMS. Biasanya menjelang tidur dan bangun tidur.
“Selamat tidur cantik. Semoga mimpi
indah.” Atau “Selamat pagi cinta. Semoga hari ini menyenangkan. Semangat ya.” Sekarang
Aldi tak pernah mengingatkan aku makan siang, berolah raga, atau merawat diri
ke salon.
***
Sejak bertemu lagi dengan Aldi,
sudah dua kali kami makan bersama di restorant ternama. Katanya sebagai penebus
kesalahan dan melakukan apa yang dulu tak sempat dilakukannya sebagai kekasih.
Aku menikmati kebersamaan dengan Aldi. Semangat hidupku juga bertambah. Serasa
lebih bergairah. Walau hatiku juga merasa takut. Salahkah aku? *Ya pastilah
salah.
Aku merasa kehilangan Aldi. Seminggu
tak menerima SMS darinya. Fbnya pun telah ditutup. Kemanakah ia? Apa yang
tejadi denganya? Aku dilanda kecemasan. Cemburukah istrinya? Kemudian
mengultimatum Aldi tidak boleh menghubungiku? Terbayang di kepalaku istri Aldi yang
gendut itu memukuli pundak Aldi dengan wajan Teflon dan Aldi berlari
menghindarinya sambil berteriak
“Munik itu temanku, mantan kekasih terindah.”
*halah.
Saat aku memikirkannya dengan cemas,
hpku berdering. Deringan hpku menunjukkan Aldi yang berkirim pesan. Aku telah
menyettingnya. Tanpa menundanya segera kubuka sms Aldi .
“Apa kabar? Kangen nih.” Pesannya.
Segera kubalas.
“ Alhamdulillah, baik. Kamu
bagaimana? Kemana saja selama ini? Kanapa juga fbmu ditutup?”
“Seperti rapelan saja. Pertanyaannya
bertumpuk-tumpuk. Tapi aku senang. Itu tandanya…1) Kamu merasa kehilangan aku,
2) Kamu kangen denganku, dan 3) Kamu masih cinta padaku.”
“Ge-Er banget sich.”
“Ya iyalah.” Jawab Aldi. Kubiarkan
saja pesannya. Cukup lama. Lima belas menit kemudian Aldi kirim pesan lagi.
“Maaf. Sebenarnya aku takut
mengganggumu. Takut merusak ketenangan hidupmu bila aku hadir lagi di hadapanmu
dengan kata-kata cinta.” Segera kubalas.
“Aku masih membutuhkan tempat curhat
sepertimu.”
“Aku akan selalu ada untukmu.”
“Terima kasih.” Dari luar kamarku sayup-sayup ku dengar
Kahitna mengalun.
Mengapa
engkau waktu itu,
Putuskan
cintaku
Dan
saat ini engkau slalu ingin bertemu
dan
mengulang jalin cinta
mau
dikata kan apa lagi kita tak akan pernah satu
engkau
di sana aku di sini meski hatiku memilihmu.
…………………………………………………..
Nunggu cerpen berikutnya, Bu :)
BalasHapus