cerpen "NAZAR"
NAZAR
Oleh Linda Safarlina
Aku
pernah berucap di dalam hati, “Kalau nanti uang sertifikasiku cair, aku akan
membelikan ibu sebuah kalung. Kalung sebesar 50 gram seperti impian ibu,” Tak
ada yang tahu aku pernah berucap seperti ini. Termasuk suamiku juga tidak tahu.
Hanya aku dan Alloh SWT yang maha mendengar yang mengetahuinya. Aku berucap
seperti itu tatkala uang sertifikasi yang kutunggu sekian lama tak juga masuk
ke rekeningku. Semua persyaratan pencairan sertifikasi telah lama kupenuhi tetapi
yang kutunggu tak juga menyapa. Anganku pun telah melayang membayangkan membeli
ini dan membeli itu. Sampai suatu hari aku bertemu dengan dua orang yang
menginspirasikan aku untuk bersedekah. Semula aku memandang sebelah mata pada
kedua orang itu. Secara kasat mata, pendidikan mereka rendah, ekonominya juga
lemah. Bagaimana aku mau belajar dan mendengarkan nasihatnya? Dalam hati aku
mencibir mereka. Namun kemudian aku menemukan sebuah hadits yang artinya
“Lihatlah pada apa yang dibicarakan dan jangan melihat siapa yang
membicarakannya.” Lama aku merenungkan hadits itu hingga akhirnya kutemukan
kesimpulannya. Bahwa kebenaran bisa datang dari siapa saja. Bisa dari anak
kecil, remaja, orang tua, bisa dari orang miskin maupun orang kaya, bahkan bisa
juga dari penjahat.
Orang yang pertama
menginspirasikanku bersedekah kepada ibu adalah Nurul Hidayah, sahabat masa
kecilku. Ia menghabiskan masa remajanya dengan menjadi TKW di Arab Saudi. Hasil
kerjanya selama menjadi TKW ia berikan untuk ibu. Membangunkan rumah yang layak
huni dan membantu membiayai adik-adiknya sekolah. Hanya sedikit yang untuk
dirinya. Setelah menikah ia membantu suaminya bertani di sawah. Kehidupannya
sederhana. Penghasilannya juga tidak berlebihan. Cukup untuk di desa. Tapi ia
selalu saja bisa bersedekah. Bisa berkurban setiap Idul Adha. Memang ia tak
membeli kambing untuk berkurban karena suaminya selain petani juga peternak
kambing. Kalau Nurul bukan orang dermawan tentu ia akan menjual semua
kambingnya dengan harga yang tinggi. Tetapi ia selalu menyisakan satu untuk
berkurban sendiri.
“Hebat, kamu ya, bisa
berkurban tiap tahun?” kataku sewaktu aku bertemu dia di hari Raya Idul Adha.
“Kamu juga bisa kalau
kamu mau. Gaji kamu kan banyak?”
“Kata siapa banyak?”
“Kata aku?” jawab
Nurul. Aku pun menceritakan padanya jumlah gajiku. Kuceritakan juga tambahannya
bila sertifikasiku cair. Ia berdecak kagum padaku dan mengangguk-agukkan
kepala.
“Tapi kebahagiaan hati
tidak bisa diukur dengan apa pun. Termasuk dengan uang. Iya kan?” aku
mengiyakan pertanyaannya.
“Jangan lupa bersedekah
ke ibu. Sekali pun ibumu orang yang berkecukupan beliau pasti sangat senang
bila diberi oleh anaknya.” Nasihatnya. Saat itu aku tak begitu peduli dengan
nasihatnya ini. Tetapi ketika uang sertifikasi yang kuangankan setiap hari tak kunjung
juga ada, dan aku mulai bosan berangan-angan, maka aku berucap di dalam hati,
“Kalau uang sertifikasiku cair, aku akan membelikan kalung untuk ibu seberat 50
gram.”
Orang kedua yang
menginspirasikan aku bernazar membelikan kalung untuk ibu adalah asisten rumah
tanggaku. Namanya Supriatin. Dia gadis
yang cantik, rajin kerja, rajin ibadah dan sopan. Hanya satu kekurangannya.
Tidak pintar. Andai dia pintar aku berniat menyekolahkannya. Tapi dia menolak.
Dia mengakui kekurangannya. Dia mengakui kebodohannya. Nilai rata-rata UN-nya
4,00. Dia mengaku padaku, waktu sekolah dia rajin belajar tetapi nilainya tak
juga membaik. Semula ia tak mau melanjutkan ke SMP tetapi ibunya memaksa karena
beliau tak ingin anaknya hanya lulus SD seperti dirinya. Orang tua Atin,
panggilan akrab Supriatin bukan orang mampu. Bapaknya seorang tukang deres
kelapa dan ibunya ibu rumah tangga. Adik Atin ada tiga. Demi menyekolahkan
Atin, ibunya menjual semua perhiasannya. Selepas dari SMP Atin bekerja di
rumahku. Sudah satu tahun ia bekerja. Dan selama satu tahun ini, ia menitipkan
gajinya kepadaku. Hanya sedikit uang yang ia minta.
“Mengapa tidak mau
menerima uang ini? Buat persiapan menikah apa?” tanyaku.
“Bukan Bu.”
“Lantas untuk apa?”
“Saya ingin membelikan
cincin dan gelang untuk ibuku.”
“Apa ibumu meminta kamu
mengembalikan cincin dan gelang yang telah dijual untuk biaya sekolahmu?”
“Tidak, Bu. Ibu tidak
pernah meminta apa-apa padaku. Ibu hanya menyuruhku supaya rajin bekerja kalau
tidak mau sekolah.”
“Oh,” jawabku singkat.
“Hebat sekali Atin.” Kataku dalam hati. Aku mengantar Atin ke toko mas
langgananku. Ternyata uangnya hanya cukup untuk membeli gelang seberat 10 gram.
Atin menerimanya dengan gembira dan mengatakan padaku ingin menabung lagi
selama lima bulan untuk membelikan cincin. Aku menyetujui rencana Atin. Saat
itu aku berucap dalam hati, “Aku juga akan membelikan kalung untuk ibu seberat
50 gram.”
Sejak mengantar Atin
membeli kalung untuk ibunya aku jadi sering berpikir. Atin yang hanya lulus SMP
saja bermaksud membalas kebaikan ibunya sementara aku selama ini berpikir bahwa
membiayai anak-anaknya sekolah adalah kewajiban orang tua. Aku tidak pernah
berpikir membalas jasanya dengan memberi sesuatu yang mahal. Padahal aku tahu,
demi menyekolahkan aku hingga menjadi sarjana seperti saat ini, ibuku telah
berkorban apa saja. Harta dan tenaga. Aku ingat sekali, ketika aku masih SD
dulu ibu mempunyai kalung yang besar, seperti yang dipakai Bu Lik Hartati. Kalung
hadiah pernikahan dari bapakku. Tapi itu tidak lama. Setelah anak pertamanya
memasuki sekolah tingkat pertama ibu menjualnya untuk biaya sekolah. Bapak
berjanji akan membelikan gantinya kalau punya rezeki. Tetapi, semakin hari
kebutuhan semakin banyak. Bapak tak pernah punya uang lebih. Tidak hutang saja
sudah beruntung. Membiayai sekolah anak-anak bak tiada akhirnya.
Saat
aku lulus SMA ibu merasa punya harapan untuk memiliki kalung kembali karena tak
lagi membiayai anak sekolah. Bapak akan punya uang atau rezeki lebih. Namun,
diam – diam aku mendaftar ke PTN melalui jalur UMPTN. Alhamdulillah aku
keterima. Bapakku sangat bangga padaku. Kakak-kakakku menyarankan untuk
melanjutkan kuliah. Hanya ibu yang sedikit keberatan. Namun, akhirnya merestui.
Aku yakin tanpa restu ibu pendidikan dan cita-citaku takkan tercapai.
Aku
lulus dari PTN dengan nilai yang memuaskan. Namun sayang seribu sayang, Bapak
tidak bisa melihatku memakai toga. Bapak meninggal dunia karena sakit ketika
aku sedang KKN dan kakak lelakiku satu-satunya sedang skripsi. Bapak sama
sekali belum pernah melihat anaknya menjadi sarjana. Ketiga kakakku hanya
lulusan PGA dan SPG. Ibu tampak bahagia saat melihatku diwisuda.
“Engkau
kebanggaan bapak,” bisik ibu kemudian tersedu. Aku juga tak bisa membendung air
mataku. Kami semua terharu. Nasib baik menyapaku. Setahun menjadi sarjana, aku
keterima PNS. Ibu pun sangat bangga padaku. Setelah
menjadi PNS aku menikah dan memiliki anak. Kebutuhanku semakin banyak seiring
dengan gaji yang meningkat. Hanya sedikit uang yang kusisihkan untuk ibu. Itu
juga sering kali kembali lagi padaku. Anakku selalu mendapat uang saku bila
berkunjung ke rumahnya. Aku juga sering dibawakan oleh-oleh yang banyak bila
ibu berkunjung ke rumahku. Memberi ibu pasti mendapat balasan yang lebih.
Berita
akan pencairan sertifikasi sudah sangat ramai dibicarakan. Ada yang mengatakan
satu minggu lagi cair, ada juga yang mengatakan satu bulan, bahkan ada yang
berucap kalau rupiah telah berganti Yen. Semula aku mengira mata uang rupiah akan
berganti mata uang Jepang yaitu Yen. Ternyata maksud mata uang Yen adalah
sertifikasi akan cair Yen ono duite atau
kalau ada uangnya. Penantian pencairan sertifikasi pun menjadi lelucon yang
menggelikan sekaligus mengenaskan. Karena ada banyak guru yang sudah menumpuk hutangnya.
Mereka terlanjur menjanjikan pelunasan dengan dana sertifikasi sebagai jaminan.
Akan tetapi, uang sertifikasi tak juga cair. Hingga sebagian mereka tak
dipercaya lagi berhutang.
Kali
ini bukan berita bohong. Uang sertifikasi yang ditunggu dan didiidam-idamkan
benar-benar cair. Benar-benar telah membuat gendut rekening tabunganku. Pertama
kali aku melihat jumlah uang itu di buku tabunganku, aku teriak tertahan.
Bahagia tak terkira. Setelah 10 tahun lebih menjadi PNS, baru kali ini
tabunganku sebesar Rp30juta. Selama ini, kalau tabunganku pernah mencapai Rp80
juta atau lebih, adalah uang hasil pinjam ke bank. Uang itu hanya beberapa hari
saja menginap di rekening tabunganku. Karena aku pasti segera membelanjakannya
untuk keperluan seperti membeli tanah atau membangun rumah. Tak pernah bisa
menabung bila menunggu uang sisa bulanan.
“Duh,
yang sudah cair sertifikasi, ditunggu makan-makannya, ya?” goda temanku. Ya,
memang sudah menjadi budaya di kantorku dan mungkin juga di kantor lain bahwa
setiap kali ada yang mendapat rezeki diminta untuk berbagi rezeki dengan yang
lainnya. Jangankan mendapat rezeki nomplok seperti sertifikasi ini, mendapat
arisan saja biasanya ditodong mentraktir makan-makan hingga uang hasil arisan
itu habis bahkan mungkin kurang. Jadi, aku tidak heran bila harus berbagi
kebahagian ini dengan teman-teman sekantor.
Seminggu
setelah pencairan, aku teringat bahwa aku pernah berucap, “Aku akan membelikan
kalung untuk ibu seberat 50 gram bila uang sertifikasiku cair”. Aku mulai ragu
dengan kalimatku itu. Apakah yang kuucapkan itu termasuk nazar? Atau hanya
desahan tanpa makna? Lima puluh gram, berapa harganya? Kuhitung dengan
kalkulator. Nggak lebih dari satu menit sudah tertera jumlahnya. Sebetulnya
tanpa kalkulator pun aku bisa menghitungnya dengan cepat. Tetapi, aku ingin
memastikan benar tidaknya hitung cepatku. Melihat jumlah yang tak sedikit itu,
aku mulai ragu. Setan di dalam hatiku terus membisikiku.
“Kau
tidak kebagian. Setelah dikurangi untuk biaya syukuran di kantor dan melengkapi
berkas administrasi, uang itu pas untuk membeli kalung. Mungkin juga kurang
bila harga emas telah naik.” Setan ini terus mengikutiku kemana pun aku pergi.
Kapan pun dan di mana pun setan ini selalu menyapa. Seperti telah menyatu dalam
tubuhku. Setan ini tak takut lagi pada sholatku dan tadarusku. Ia tampak tidak
memberi celah untukku berpikir yang baik. Setan selalu memanas-manasiku.
“Ibumu
sudah tua, untuk apa membeli kalung sebesar itu? Malah menimbulkan bahaya.
Bukankah sekarang perampokan melanda desa-desa? Ibumu seorang diri di desa.
Kalau beliau memakai kalung pemberianmu kemudian ada yang melihat dan
merampoknya, ibumu tidak bisa melawan. Kalau perampok itu hanya meminta kalung
saja dan ibumu memberinya, mungkin tidak apa-apa. Kalau perampok itu membunuh
ibumu? Tentu kau akan sangat menyesal telah membelikannya kalung?” membayangkan
itu aku bergidik.
Keesokan harinya, aku
berkunjung ke rumah ibu bersama anakku. Ibuku sedang duduk di teras rumah
seorang diri. Beliau sangat senang dengan kedatangan kami. Ibu hendak
membuatkan kopi kesukaanku tapi kutahan.
“Nanti saja, Bu.
Kutemani ibu duduk di teras sampil melihat orang yang lalu lalang.” Setelah
basa-basi menanyakan kabar dan alasanku datang tiba-tiba, aku bertanya sambil
menggoda.
“Bu masih ingin
memiliki kalung seperti yang dimiliki Bu Lik Hartati?” kataku mengingatkan
mimpi ibu dulu. Ibu tersenyum lucu.
“Apa masih pantas sudah
peot begini memakai kalung begitu?” tanyanya balik. Aku pun tersenyum mendengar
jawabannya.
“Ya pantas saja,” ibu
malah tertawa hingga gigi palsunya terlepas.
“Aku sudah tidak ingin
apa-apa. Aku sudah bahagia, anakku sudah berkeluarga semua. Kalau ada keinginan
maka aku ingin selalu sehat. Tidak mudah pusing seperti sekarang,” aku
mengangguk-angguk mendengarkan ucapan ibu. Setan di dalam hatiku langsung
menghasutku lagi.
“Ibumu sendiri sudah
tidak menginginkan kalung. Kalau kau masih ingin membelikan sesuatu, belikan saja cincin 5 gram. Ibumu pasti akan
bahagia. Toh, belum ada yang tahu bahwa kamu berjanji akan membelikan kalung?”
aku mengangguk-angguk sendiri seolah-olah menjawab hasutan setan itu.
Seminggu kemudian, aku
kerumah ibu seorang diri. Kuberikan padanya cincin bermata seberat lima gram.
Ibuku sangat bahagia. Aku langsung memakaikannya di jari manis beliau. Kwitansi
cincin itu kutulis atas nama ibu. Berkali-kali ibu mengucapkan terima kasih.
Aku pun bahagia melihat ibu bahagia walau sedikit mengganjal. Selain
cincin kubawakan juga gula, kopi, dan
makanan kesukaan ibu. Ibu sudah tahu bahwa aku telah mendapatkan rezeki besar.
Tetapi ibu tidak tahu niatku semula.
Uang sertifikasiku
masih cukup banyak, aku berniat mengganti motorku yang sudah lama itu dengan
motor yang saat ini sedang ni yaitu motor metik. Beberapa temanku telah
menyarankannya agar mengganti motorku dengan metik. Tapi saat itu aku tidak
memiliki uang untuk membelinya. Kini uang sertifikasi ini kugunakan untuk
membeli Scoopy warna pink. Warna kesukaan anakku. Anakku pun sangat senang
dengan scoopy.
Sudah sebulan aku
berangkat kerja dengan mengendarai scoopy. STNK pun telah kudapatkan. Hari ini
aku berangkat MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dengan scoopy juga. Untuk
mengantisipasi supaya tidak lupa dan tidak tertinggal STNK itu, aku
menyimpannya di jok motor di bawah mantel. Aku berangkat dengan gembira.
Kuparkirkan scoopyku di bawah pohon rindang agar terhindar dari sinar matahari.
Hanya beberapa motor yang terparkir di situ. Kemudian aku mengikuti kegiatan
MGMP dengan santai namun serius. Pukul 12.30 MGMP usai. Aku pulang. Namun, apa
yang terjadi? Betapa terkejutnya aku ketika mendapati scoopy ku tidak ada di
tempat parkir. Aku panik dan bertanya ke sana ke mari, hingga banyak yang
mengerubungi aku. Kemudian pak satpam datang menjelaskan.
“Tadi ada dua orang
laki-laki di belakang ibu. Salah satunya mengaku sebagai suami ibu. Kulihat
dari pos satpam ibu juga mengangguk padanya. Setelah ibu masuk ke dalam, kedua
lelaki itu membawa scoopy tanpa kesulitan. Kukira dia telah membawa kunci
motornya.” Dengan sangat jelas dan runtun Pak Satpam menjelaskan pada kami yang
sedang bergerumbul. Kukatakan pada mereka, “ Aku tak mengenal mereka. Kukira
guru baru anggota MGMP. Suamiku saat ini sedang berada di Jogja.” Kepalaku
langsung terasa pusing. Pusing yang luar biasa. Kuputuskan untuk sholat duhur
di masjid sekolah. Aku tahu, ini salahku. Aku yakin setan tertawa
mengejekku.
“Semua bukan salahku.
Ini salahmu sendiri karena mengikutiku. Kau sudah tahu hukum nazar.” Aku
kembali bersujud memohon kekuatan kepadaNya.
BIODATA
PENULIS
Nama : Linda Safarlina
Pekerjaan : Guru MAN Purwokerto 2
Alamat : Jalan Sidodadi RT01/07
Sokaraja Tengah
No.
telp. : 085327616397
Yqng berkenan membaca, mohon komentarnya.
BalasHapus