CERPEN
Sekali
Berarti Maut Menjemput
By Linda Safarlina, S. Pd.
Pak
Masdar menutup buku khutbahnya. Padahal ia belum selesai membaca. Rupanya ada
yang mengganjal di hatinya, tema yang akan dibawakan Jumat lusa tentang
menyantuni anak yatim. Sebulan yang lalu tetangganya ada yang menjadi yatim.
Namanya Taufik Hidayat. Ia baru kelas VI Madarasah Ibtidaiyah. Bandelnya luar
biasa. Setiap kali marah dan bertengkar dengan teman ia akan pulang ke rumah
mengambil benda tajam seperti pisau, golok, atau pun sabit untuk melukai
temannya atau siapa saja yang bikin marah. Tidak pandang bulu, guru pun ia
lawan. Kalau Taufik marah dan mengamuk suasana madrasah jadi kacau. Siswa-siswa
berlarian mencari perlindungan. Meja-meja dan kursi-kursi di kelas jadi
sasaran. Digulingkannya semua. Selama ini yang bisa menaklukan hati dan
tenaganya hanya ada dua orang. Bapaknya dan Pak Sarana, Kepala Madrasah. Pak
Masdar selaku komite madrasah dan juga tetangga Taufik sudah mengetahui
perangai Taufik itu. Dua hari yang lalu Pak Masdar mengikat kedua tangan
Taufik. Gara-garanya Taufik mengamuk dan hendak memukul Pak Usman dengan golok.
Namun, perlakuan Pak Masdar itu tidak diterima oleh ibunda Taufik, Bu Kusmiati.
Bu Kusmiati atau biasa disapa Bu Kus menganggap perlakuan Pak Masdar
berlebihan. Ia juga mengatakan perkataan yang sangat menyakitkan hati Pak
Masdar.
“Pantes
saja Pak Masdar tidak punya keturunan. Tidak memiliki rasa belas kasih kepada
anak. Apalagi anakku ini anak yatim. Anakku ini bukan kambing, tapi manusia.
Untuk apa diikat-ikat seperti ini. Mau disembelih apa?!” Kata Bu Kus dengan
emosi. Pak Masdar dan temannya tercengang mendengar kata-kata Bu Kus. Pak
Masdar pun melepaskan ikatannya. Begitu juga dengan kedua temannya yang menyikep Taufik. Taufik yang mendapat
dukungan ibu meludahi wajah Pak Masdar. Teman Pak Masdar dengan reflek memukul
Taufik. Taufik yang tidak siap jatuh tersungkur kemudian bangkit dan hendak
membalas tetapi Pak Masdar menghalanginya dan membiarkan dirinya dipukul balas.
Bu Kus segera menarik tangan Taufik dan membawanya pulang. Pak Masdar dan kedua
temannya yang bernama Saeun dan Fadil tidak menyangka akan terjadi seperti ini.
Tidak menyangka Bu Kus akan menghina Pak Masdar, tokoh masyarakat yang paling
disegani di kampung Klepu. Juga tidak menyangka Taufik akan memukul balas Pak
Masdar hingga memar.
“Taufik
memang sudah sangat meresahkan warga, Pak.” Kata Saeun.
“Apa
kita laporkan ke polisi saja? Biar dikarantina.” Sahut Fadil.
“Tidak
usah. Tadi saya tidak bermaksud menyiksa Taufik. Saya hanya ingin menasihati.
Tapi karena saya takut dia akan ngamuk,
saya mengikat tangannya.” Ucap Pak Masdar kepada kedua temannya yang juga
tetangga.
“Yang
dilakukan Pak Masdar tidak salah. Bu Kus saja yang keterlaluan. Kalau tadi saya
tidak dicegah, Taufik sudah babak belur.” Jawab Saeun.
Pak
Masdar menghela napas panjang. Istrinya menghampiri sambil membawakan secangkir
teh manis.
“Kenapa,
Pak? Masih kepikiran Taufik?” tanya istri.
“Iya,
Bu. Bapak ingin mengangkatnya sebagai anak, tapi kok…?” Pak Masdar tidak
melanjutkan kalimatnya. Istrinya diam sesaat. Ia tahu pahala menyantuni anak
yatim. Ia juga tahu bila di dalam rumahnya terdapat anak yatim yang
diperlakukan seperti anak sendiri maka Alloh akan memberinya berkah yang
banyak. Tetapi, Taufik sangat bandel. Akan sangat berat mengangkatnya sebagai
anak. Sekalipun Bu Masdar belum dikarunia keturunan setelah hampir 15 tahun
menikah, ia tak bermaksud mengangkat Taufik sebagai anak yang harus diasuh di
rumahnya. Ia merasa tak sanggup. Yang bisa dilakukannya hanyalah membantu
menanggung kebutuhan hidupnya.
“Apa
mungkin pendidikan pondok dapat mengubah perangainya, Pak? ”
“Apa
Ibu berpikiran untuk membantu Taufik dengan menyekolahkan di pondok?” Bu Masdar
mengangkuk. “Bapak juga kepikiran memondokkan Taufik. Tapi, Bapak juga takut
kalau Taufik bikin onar di pondok.” lanjut Pak Masdar. Dari ruang tamu terdengar
bunyi pintu diketuk disertai suara salam. Rupanya orang yang sedang dibicarakan
datang. Bu Kusmiati dan Taufik. Pak Masdar mempersilakan mereka masuk dan duduk
di sofa rumahnya. Istrinya membuatkan teh. Berkali-kali Bu Kus mengucapkan maaf
dan maaf.
“Sudahlah,
Bu. Sudah saya maafkan. Saya juga minta maaf. Saya tidak bermaksud menyiksa
Taufik kemarin itu…”
“Tidak,
Pak. Saya ngerti, saya yang salah,
anak saya yang salah. Saya mohon maaf.” Bu Kusmiati bersimpuh di kaki Pak
Masdar begitu juga dengan Taufik. Ia juga meminta maaf berkali-kali.
“Bu
Kus, Taufik, tidak perlu seperti ini. Kalian sudah saya maafkan.” Pak Masdar
Mengangkat bahu Bu Kus dan menyuruhnya duduk kembali. Begitu juga dengan Taufik.
Melihat adegan seperti itu, istrinya kaget.
“Ada
apa ini?” Bu Kusmiati segera bersimpuh di kaki istri Pak Masdar dan meminta
maaf.
“Lho,
kalian salah apa, kok seperti ini?” Bu Kus mendongakkan kepalanya dan menyadari
bahwa istri Pak Masdar belum mendengar kejadian dua hari yang lalu.
“Anak
saya, Taufik, telah memukul Pak Masdar.”Kata Bu Kus dengan jelas.
“Memukul?
Kapan?” ada nada cemas di suara Bu Masdar. “Ooo,” Bu Masdar menutup mulutnya,
“Jadi, pipi yang memar ini karena dipukul? Bukan kena gagang pacul?” lanjut Bu
Masdar. Bu Kus mengangguk dan meminta maaf untuk yang kesekian kali.
“Sudahlah,
Bu. Tidak apa-apa.” Pak Masdar menenangkan hati istrinya. Kemudian Pak Masdar
mengutarakan maksud hatinya dan hati istrinya yang ingin menyekolahkan Taufik di
Pondok Pesantren. Taufik dan Bu Kus menyambut baik niatan Pak Masdar. Taufik
juga berjanji akan mengubah sifatnya yang temperamental dan suka mengamuk. Bu
Kus segera pamit setelah selesai urusannya. Hatinya merasa tenang dan
berkali-kali mengingatkan Taufik agar tidak mudah marah dan mengamuk. Ia juga
menyuruh Taufik ke rumah Pak Masdar bila sedang marah agar Pak Masdar mengikat
kedua tangannya. Ketenangan hati Bu Kus berbanding terbalik dengan hati Bu
Masdar. Setelah kepulangan Bu Kus, Bu Masdar menginterogasi Pak Masdar. Apa
yang sebenarnya terjadi. Mengapa Taufik sampai memukulnya. Siapa yang
menolongnya dan berakhir dengan membatalkan rencana memondokkan Taufik.
“Niat
baik jangan dibatalkan, Bu.” Jawab Pak Masdar tanpa menjelaskan secara rinci
peristiwa pemukulan Taufik kepadanya dan penghinaan Bu Kus yang meyakiti
hatinya. Pak Masdar sadar betul. Bila ucapan Bu Kus yang menyakiti itu
disampaikan kepada istri akan terjadi dendam di hati istri. Dan Pak Masdar akan
kesulitan menyadarkan hati istrinya itu. Oleh karena itu, Pak Masdar diam saja
dan merahasiakannya. Ia pun berharap kedua temannya tidak akan menceritakan
kepada istri-istri mereka.
Sudah
dua kali Taufik menemui Pak Masdar di saat hatinya marah dan ingin mengamuk. Ia
meminta Pak Masdar mengikat tangannya. Pak Masdar mengikuti kemauan Taufik. Di
saat seperti itu Pak Masdar mengajak ngobrol dan menasihatinya. Betapa susahnya
menjinakkan hati Taufik. Tapi ia yakin, sekeras-kerasnya hati manusia bisa
dilembutkan. Pak Masdar bukan seperti yang dituduhkan Bu Kus, tidak memiliki
rasa belas kasih. Pak Masdar sangat penyayang terhadap anak-anak. Meski begitu
Alloh belum juga mengaruniai keturunan selama 15 tahun pernikahannya. Beberapa
kali istrinya mengalami keguguran.
Seperti yang dijanjikan
Pak Masdar, setelah lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, Taufik diantar oleh Pak
Masdar dan istri ke pondok pesantren. Pak Masdar memperlakukan Taufik seperti
anak sendiri. Ia tidak ragu-ragu mengeluarkan jutaan rupiah untuk membiayai
Taufik. Betapa bahagia hati Pak Masdar setelah mengantarkan Taufik ke
pesantren. Ia merasa cita-citanya terlaksana. Ia merasa memiliki penerus yang
akan memakmurkan masjid di kampung Klepu. Selama ini ia takut karena tak juga
memiliki keturunan sehingga tak ada lagi generasi penerus yang akan memakmurkan
masjid. Ia juga perihatin karena remaja sekarang lebih senang dengan musik dan
kumpul-kumpul yang tak jelas arahnya. Ia kesulitan mengarahkan para remaja
kembali ke masjid. Sangat jauh berbeda dengan masa remajanya dulu.
Seminggu
pertama di pondok pesantren, Taufik pulang ke rumah. Ia merasa tidak betah dan
ingin keluar. Ia mogok tidak sekolah. Bu Kusmiati datang ke rumah Pak Masdar
seorang diri.
“Tidak
apa-apa. Saya dulu juga seperti itu. Minggu pertama di pesantren saya minggat
ke rumah. Ibuku yang terus menenangkan dan membujuk saya untuk kembali ke
pesantren. Alhamdulillah, selanjutnya saya betah. Sampai enam tahun saya di
pesantren.” Kata Pak Masdar menenangkan hati Bu Kus. “Sekarang Bu Kus harus
mendukung saya, jangan mengikuti semua kemauan Taufik. Bujuklah ia untuk
kembali ke pesantren.” Lanjut Pak Masdar. Bu Kus hanya diam saja kemudian
pamit. Setelah sampai di rumah Bu Kus masih saja diam. Ia tidak menjawab setiap
kali Taufik bertanya atau mengajaknya bicara. Taufik marah dan mengamuk di
rumah Pak Masdar. Bu Kus masih saja diam. Pak Masdar juga tidak tahu apa yang
membuatnya Bu Kus diam. Sampai akhirnya Taufik menganggap ibunya sakit bisu dan
meminta tolong pada Pak Masdar untuk membawanya ke rumah sakit. Pak Masdar
menyanggupi permintaan Taufik asalkan ia mau kembali ke pesantren. Benar. Pak
Masdar membawa Bu Kus ke dokter. Sakitnya tidak parah, hanya radang
tenggorokan. Memang akan terasa sakit bila ia berbicara atau pun menelan
makanan. Tapi bukan itu alasan
sebenarnya yang membuat Bu Kus membisu. Hati dan mulutnya sibuk mendoakan
Taufik agar Alloh melembutkan hatinya dan membuatnya mau kembali ke pesantren.
Sehari setelah periksa, Bu Kus berbicara pada Taufik.
“Nak,
emak ingin, Taufik jadi anak yang sholeh, yang bisa mendoakan orang tua, yang
berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Tidak seperti sekarang. Semua
menjauhi Taufik, semua takut pada Taufik.”
“Iya,
Mak. Taufik mau kembali ke pesantren.” Jawab Taufik singkat. Dengan senang hati
Bu Kus mendengarnya. Ia pun segera menemui Pak Masdar. Esoknya Taufik diantar
ke pesantren.
Tahun
pertama di pesantren dirasakannya begitu berat. Pola hidup yang disiplin,
banyaknya kegiatan yang harus dikuti dan semua serba antri membuatnya sangat
kurus. Tahun kedua, ia sudah mulai menyesuaikan. Ia mulai terbiasa dan menikmati
semua rutinitas yang ada di pesantren. Solat berjamaah, bangun malam, belajar,
sekolah,mengaji dan mengaji ia ikuti. Bahkan sikap toleransinya pun kian
tinggi. Ia tak lagi egois dan tak pernah lagi terlibat kelahi. Ia lebih mampu mengendalikan diri. Setiap kali
pulang ke kampung Klepu tanpa disuruh emaknya Taufik selalu menemui Pak Masdar,
sholat berjamaah di masjid dan juga membantu emak mengerjakan sawah bila sedang
musim garapan sawah. Bu Kus bahagia
melihat perubahan sikap yang ditunjukkan Taufik. Tapi, tidak mudah baginya
untuk menjalani perubahan ini. Teman semasa di Madrasah Ibtidaiyah selalu
mengingatkannya pada sikap buruknya. Seperti yang disampaikan oleh Dani setelah
magrib di masjid Klepu.
“Kamu
sudah tidak lagi mengamuk, Taufik?” tanya Dani. Taufik menggeleng.
“Ah,
yang benar?” Dani tidak percaya.
“Benar.”
Jawab Taufik.
“Kamu
ingat tidak bagaimana caramu mengamuk di kelas?” Taufik mengangguk.
“Membawa
golok, pisau atau sabit. Kemudian mengguling-gulingkan meja.”
“Sudahlah,
Dan, jangan mengingat lagi masa Jahiliyah.”
“Masa
Jahiliyah? Itukan saat kita kelas lima MI.” Diledek seperti itu Taufik marah.
Hatinya terbakar. Tapi ia tak lagi mengamuk. Ia segera meninggalkan Dani
seorang diri tanpa salam dan pergi menuju rumah Pak Masdar. Ia ceritakan apa
yang baru saja dibincangkan bersama Dani.
Tahun
ke tiga di pondok, Taufik semakin dewasa. Pola asuh kehidupan di pesantren
membuatnya lebih dewasa dibandingkan dengan anak seusianya. Lebih dari itu,
karekternya pun kini menjadi jauh lebih baik. Tidak tersinggung lagi bila ada
yang mengingatkannya pada masa kecilnya yang bandel. Ia sudah mampu
bermasyarakat. Ketika ia pulang ke kampung Klepu pada saat libur sekolah, ia
sering kali diminta emaknya menghadiri kenduri bila ada tetangganya yang
mengadakan kenduri. Pada saat Ramadhan tiba, Taufik juga mendapat kesempatan
mengisi kultum selepas sholat subuh di masjid Klepu. Sambutan masyarakt atas
penampilan Taufik sangat baik. Komentar mereka positif, baik tentang cara
penyampaian maupun isi materi. Orang tua dan teman-teman yang dulu
mengolok-olok kini mengelu-elukannya. Banyak orang tua di kampungnya yang ingin
menyekolahkan anaknya di pesantren tempat Taufik mondok. Termasuk orang tua
Dani. Banyaknya masyarakat yang bertanya dan ingin tahu kondisi dan program
belajar di pesantren, Taufik pun menyelenggarakan acara sosialisasi “Ayo Mondok” di Madrasah Ibtidaiyah atas
dukukangan Pak Masdar. Dengan semangat bak sarjana pendidikan Taufik memaparkan
program belajar di pondok tempatnya belajar.
“Jadi
pesantren juga mengajarkan ilmu umum seperti pendidikan di SMA/SMK?” tanya
salah seorang warga.
“Betul,
Pak. Bahkan penddikan karakter yang diterapkan pemerintah saat ini, sudah
diterapkan di pesantren sejak puluhan tahun yang lalu. Pendidikan di pesantren,
melatih kita mandiiri, toleransi, kerja sama, jujur, dan disilin.” Taufik
menjelaskan dengan detail. Acara yang digelar pun berjalan lancar. Kurang lebih
ada 10 orang tua yang berniat menyekolahkan anaknya di pesantren.
Pak
Masdar merasa bangga pada Taufik. Ia pun menaruh harapan besar padanya. Ia
yakin Taufiklah yang akan meneruskan jejaknya menyebarkan ajaran Islam dan
memakmurkan masjid di kampung Klepu. Bahkan lebih dari itu, dengan kecerdasan
yang dimiliki dan pendidikan yang tinggi kelak, Taufik dapat menjadi orang yang
lebih berguna lagi bagi agama, bangsa, dan negara. Namun, apa yang terjadi?
Taufik menderita demam hampir satu minggu. Ia menganggap akan segera sembuh
karena demamnya hanya sesekali datang tetapi suhu badannya selalu hangat. Hari
kelima , sekalipun demam Taufik masih bisa berjamaah Asyar di masjid. Ia pun
menawarkan diri untuk adzan. Suaranya sangat merdu seperti sang qori. Malam
harinya Taufik tak sanggup melawan demam. Pak Masdar membawanya ke dokter.
Namun, sudah sangat terlambat. Taufik menderita demam berdarah dan trombositnya
sangat rendah. Pak Masdar, Bu Masdar dan Bu Kus yang menunggui dengan cemas.
Mereka memohon kesembuhan pada Alloh SWT. Semalaman mereka tidak bisa tidur.
Pagi harinya demam Taufik menurun, Bu Kus merasa lega karena dianggapnya Taufik
akan segera pulih. Tapi rupanya, menurunnya demam Taufik adalah masa-masa
kritis dan Taufik tidak mampu melewatinya. Tepat pukul 10.00 WIB Alloh SWT
mengambilnya.
“Innalillahi
wainnailaihi raji’un. Engkau telah berarti Taufik. Engkau telah menyebarkan
benih-benih kebaikan. Tapi, apalah daya, maut menjemputmu. Insya Alloh, engkau
khusnul khotimah.” Bisik Pak Masdar di telinga Taufik.
Komentar
Posting Komentar