Cerpen



SEKALI BERARTI SESUDAH ITU MATI
Oleh Linda Safarlina, S. Pd.

Aji tampak serius mendengarkan penjelasan guru PKn. Ia tak mendengar bisikan Arif yang mencoba membuyarkan keseriusannya belajar. Ia juga tak melihat isyarat Desi yang hendak menanyakan PR Matematikanya. Ia benar-benar konsentrasi pada penjelasan Pak Haidar tentang arti kemerdekaan. Setelah Pak Haidar mengakhiri pelajarannya barulah Aji rileks.
            “Tumben, kamu serius mendengarkan Pak Gendut. Biasanya tidur.” Kata Arif.
            “Rif, kamu tahu materi apa yang baru saja dijelaskan oleh Pak Haidar,”
            “Ya tahulah. Kemerdekaan, kan?”
            “Ya. Kita sering mempertanyakan, sudahkah kita merasa merdeka? Inikah negara merdeka? Kita salah Rif. Jelas-jelas kita sudah merdeka. Negara kita juga sudah merdeka. Kita justru yang tidak bisa mengisi kemerdekaan ini dengan baik.”
            “Wah, wah, wah. Kerasukan roh kemerdekaan nih,” ledek Arif.
            “Nanti kita sambung lagi Rif, Bu Rina sudah datang,” kelas yang semula gaduh kembali tenang. Aji dan Arif mengikuti pelajaran Matematika dengan baik. Tak ada insiden yang berarti selama pelajaran Matematika. Kecuali Desi yang mendapat hukuman karena tidak mengerjakan PR. Desi pun kesal pada Aji yang tak mau meminjami buku PR Matematika.
***
            Tidak seperti biasanya, malam ini Aji membuka-buka buku PKn. Biasanya ia mengutak-atik rumus matematika atau fisika. Tapi sejak tema kemerdekaan dibahas dalam pelajaran PKn, Aji jadi tertarik. Sebenarnya Aji lebih tertarik dengan kata kemerdekaan itu. Aji sering menyaksikan di TV para mahasiswa dan pendemo mempertanyakan kemerdekaan negara. Padahal, sudah jelas-jelas Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Selama ini, rakyat Indonesia juga selalu merayakannya di tanggal bersejarah itu. Dan kini usia Negara Indonesia telah mencapai 70 tahun. Sama dengan usia kakek Sarono. Tetangga sebelah rumah Aji yang meski sudah berusia lanjut tetapi masih sehat dan tetap bekerja keras. Terpikir oleh Aji untuk menanyakan sejarah masa mudanya.
***
            Minggu yang cerah, Aji baru saja selesai mencuci baju dan sepatu. Saat menjemur di samping rumah ia melihat Kakek sarono baru pulang dari sawah kemudian duduk santai di depan rumah sambil memandangi tanaman bunga. Usai menjemur baju dan sepatu, Aji langsung mendatangi Kakek Sarono.
            “Assalamualaikum,” sapa Aji.
            “Waalaikumussalam. Sini duduk Ji.” Aji pun segera  menempati kursi yang berhadap-hadapan dengan Kakek Sarono.
            “Ini nih, anak muda generasi penerus yang bisa diandalkan.”
            “Kakek Sarono bisa aja. Memangnya apa yang kulakukan?”
            “Kamu tadi mencuci baju kan? Sekarang ini banyak anak muda yang malas-malasan. Belajar tidak bekerja pun tidak. Mau jadi apa mereka? Sukanya hanya musik. Apa semua mau jadi pemusik?”
            “Entahlah, Kek. Saya kesini juga dalam rangka ingin tahu masa muda Kakek. Beberapa waktu yang lalu saya melihat KTP Kakek, di situ tertulis tanggal lahir Kakek. Kemudian saya ingat usia kakek saat ini sama dengan usia bangsa kita yang sebentar lagi akan kita rayakan.”
            “Oya? Sudah berapa tahun usiaku, Ji?” Aji tersenyum.
            “70 tahun, Ji?” Aji kembali tersenyum sambil mengangguk.
            “Sudah tua ya, Ji?”
            “Tapi Kakek masih luar biasa. Semangat dan kuat. Apa rahasianya, Kek?”
            “Rahasianya?” Kakek terdiam sebentar, “Dulu saat masih menjadi guru saya membaca puisi Chairil Anwar. Ada satu baris yang berbunyi ‘Sekali berarti sesudah itu mati’. Kamu pernah baca puisi itu?”
            “Pernah, Kek. Judul puisinya Diponegoro”
            “Benar kamu, Ji. Makanya kamu sebagai generasi muda jangan malas-malasan. Kemerdekaan itu bukan kebebasan mutlak, Ji. Kemerdekaan adalah kebebasan yang bertanggung jawab.  Kamu lihat Mbak Ani? Dia merasa merdeka melakukan apa saja. Kalau ada orang lain yang menasihati ia merasa terjajah. Padahal ia sendiri terjajah oleh nafsunya. Kini ia terpenjara dengan kelahiran anak yang tidak diketahui siapa bapaknya,” Aji mendengarkan penjelasan Kakek sarono dengan serius. Kemudian pamit karena terdengar adzan Dhuhur.
***
            Sekali berarti sesudah itu mati. Kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Aji. Ia yakin yang dimaksud baris itu bukanlah seperti pohon pisang yang hanya berbuah sekali kemudian mati. Kematian manusia tidak ada yang tahu kapan dan dimana. Ia mengartikan baris puisi itu sebagai perintah bahwa manusia yang baik adalah yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan. Keberadaan kita harus berarti atau bermakna. Aji merasa belum berarti apa-apa. Khususnya bagi orang tua. Aji masih bergantung kepada kedua orang tuanya. Sekalipun ia pernah meraih predikat siswa teladan tingkat kecamatan ia merasa belum berarti. Kini Aji ingin berbuat sesuatu yang bisa dikenang dan berguna bagi orang lain. Lama sekali Aji memikirkan apa yang harus diperbuat, hingga jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul 00.00. Meski belum mengantuk Aji memejamkan mata supaya tertidur.
***
            Aji mengajak Arif berjalan-jalan megelilingi sekolah. Mereka memperhatikan lingkungan sekitar. Saat itu, jam pelajaran telah usai. Hanya ada sedikit siswa yang masih berada di lingkungan sekolah.
            “Aji, Arif, mau kemana?” sapa Febi mengagetkan mereka.
            “Nggak ke mana-mana. Kamu lagi apa Feb, kok di sini?” jawab Aji balik tanya.
            “Nggak ngapa-ngapain. Mau pulang saja.”
            “Mendingan gabung sama kita. Bertiga mungkin lebih baik,” usul Arif sambil melirik Aji.
            “Memangnya apa sih yang sedang kalian lakukan?” Febi jadi penasaran.
            “Ayo jelasin Bos,” kata Arif menyuruh Aji. Arif yang mengetahui kalau Aji menyimpan rasa kagum pada Febi memberi kesempatan untuknya menarik perhatian Febi.
            “Apaan sih, Rif. Bos-Bos,” kata Aji tidak suka. “Begini Feb, sebentar lagi kita akan merayakan hari Kemerdekaan RI, aku dan Arif ingin di akhir periode kepengurusan kita di OSIS, kita berbuat sesuatu yang berarti untuk sekolah.” Lanjut Aji.
            “Usul yang bagus itu,” sahut Febi.
            “Tapi kita belum tahu, kira-kira apa ya yang berarti untuk sekolah?” Febi mengerutkan dahi.
            “Apa ya?” gumamnya.
            “Makanya ayo kita lanjutkan perjalanan ini untuk mengamati sekolah kita. Siapa tahu ide cemerlang akan muncul,” kata Arif.
            “Ayolah, aku ikut.” Mereka bertiga mengamati lingkungan sekolah. Di pojok koridor tampak Pak Sapri sedang menuangkan sampah dari tong sampah yang ada di depan kelas ke tong sampah yang lebih besar. Pak Sapri hendak mengangkutnya ke bak sampah yang ada di belakang sekolah. Aji tertarik untuk mendekatinya.
            “Ini kumpulan sampah dari berapa kelas, Pak?” tanya Aji melihat sampah yang ada di tong sampah besar isinya hanya setengahnya.
            “Dari kelas pojok sana,” kata Pak Sapri sambil menunjukkan kelas yang dimaksud. Aji kemudian menghitung kelas yang ada. Aji tidak percaya dari 12 kelas sampahnya hanya sedikit. Padahal Aji tahu hampir seluruh siswa membuang sampah.
            “Sampah yang belum diambil masih ada nggak, Pak?”
            “Deretan kelas di sana belum diambil.” Aji diikuti Arif dan Febi segera menuju kelas yang ditunjukkan Pak Sapri.
            “Kita lihat isi tong sampah itu,” Kata Aji. Kemudian mereka melihat isi tong sampah. Masing-masing kelas memiliki dua tong sampah. Satu bertuliskan SAMPAH ORGANIK dan satunya lagi bertuliskan SAMPAH ANORGANIK. Warna dan bentuk kedua tong sampah itu sama.
            “Tong sampah organik berisi sampah-sampah anorganik juga. Begitu juga sebaliknya campur aduk begini. Kenapa bisa begini, ya?” tanya Arif heran.
            “Kalau menurut aku tidak semua orang paham dengan istilah sampah organik dan sampah anorganik.” Kata Aji.
            “Menurutku juga begitu. Aku sendiri harus berpikir ketika mau memasukkan sampah ke tong sampah.” Kata Febi.
            “Apakah sudah menemukan ide?” tanya Arif. Sejenak mereka terdiam. Kemudian Aji dengan semangat mengikuti gaya pidato Bung Karno mengatakan
            “Beri aku sepuluh teman pelukis niscaya akan kugoncang sekolah kita,” tanpa komando Febi dan Arif bertepuk tangan. Aji pun tersipu.
            “Aku telah menemukan ide. Kita gambar tong-tong sampah ini sesuai jenis sampahnya. Tong sampah organik kita beri gambar sampah-sampah organik sedangkan tong sampah anorganik kita gambar sampah-sampah anorganik. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi siswa maupun guru yang salah tempat ketika membuang sampah.”
            “Ide yang bagus. Tapi tentu butuh modal yang tidak sedikit untuk melaksanakannya,” sahut Febi.
            “Iya, Ji. Kita butuh modal besar.”
            “Tugas Febi untuk membuat proposal. Kita butuh cat saja. Tenaga kita untuk menggambar gratis.”
            “Kamu sanggup untuk menggambar sendiri?”
            “Tadikan aku sudah bilang, beri aku 10 teman yang pandai melukis, niscaya kubikin indah sekolah kita.”
            “Siapa yang mau?” Arif mengeluh.
            “Jangan pesimis sebelum berjuang.” Dengan tegas Aji menangkis kekhawatiran Arif.
            “Ok. Semoga kita sukses.”
***
            Keesokan harinya OSIS mengadakan rapat pengurus dengan pembina dalam rangka persiapan peringatan HUT RI Ke- 70. Pada saat rapat Aji tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia mengemukakan pendapatnya yang telah dikomunikasikan dengan Arif dan Febi. Di luar dugaan. Semua teman-teman pengurus OSIS dan pembina OSIS langsung menyetujui pendapatnya. Bahkan mereka yang pandai melukis atau menggambar siap membantu. Sementara yang tak pandai menggambar siap menyediakan logistik dengan Cuma-Cuma. Febi yang ditugasi membuat proposal pun segera bekerja. Tak lebih dari satu minggu proposal yang dibuat Febi membuahkan hasil. Anak-anak pengurus OSIS dibantu oleh siswa yang pandai melukis segera melaksanakan tugasnya menggambar tong sampah.  Selama kurang lebih tiga minggu,  70 tong sampah telah selesai digambar. Tiga puluh lima tong sampah bergambar sampah-sampah organik dan 35 lainnya bergambar sampah-sampah anorganik. Anak-anak OSIS segera mendistribusikan kembali tong-tong sampah itu ke depan masing-masing kelas. Pada saat upacara peringatan hari Kemerdekaan bapak kepala sekolah menyampaikan terima kasih kepada OSIS dan mengharapkan para siswa untuk menjaga kebersihan lingkungan sekolah dengan membuang sampah pada tempatnya.
            Lingkungan sekolah kini tampak bersih, asri, dan nyaman. Tak ada lagi sampah di laci meja maupun di selokan. Semua telah membuang sampah pada tempatnya. Juga tak ada lagi yang salah memasukkan jenis sampah. Sekolah yang dulu tampak kumuh kini tak lagi.
            “Semoga lingkungan seperti ini dapat bertahan untuk selamanya ya, bukan hanya di bulan Agustus ini.” Harap Febi ketika sepulang sekolah Aji, Arif dan Febi masih berada di sekolah untuk mengerjakan laporan kegiatan OSIS.
            “Seperti halnya kita mempertahankan kemerdekaan bangsa. Para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan tentu berharap generasi penerusnya akan lebih pandai sehingga tidak ada lagi penjajahan dan mampu mengolah kekayaan bangsanya dengan lebih baik. Aku merasa belum apa-apa dibandingkan dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Tapi kita harus tetap melakukan perbaikan diri. Kita baru bisa memisahkan sampah organik dengan sampah anorganik. Kita belum bisa mengolahnya atau mendaur ulang sampah itu menjadi sesuatu yang lebih baik.”
            “Tapi yang kita lakukan tidak sia-sia kan?”
            “Tentu saja tidak, Rif. Oya, aku pulang dulu ya, bapakku sudah menjemputku di depan gerbang nih. Aku mau mudik.” Pamit Febi.
            “Malam mingguan di kampung nih? Yah, ga bisa jalan-jalan sama kita ke alun-alun.” Kata Arif.
            “Lain kali lah.” Febi pun berlalu meninggalkan Aji dan Arif.
            “Kau masih belum berani mengungkapkan perasaan cintamu pada Febi, Ji?” tanya Arif setelah Febi menghilang di balik pintu gerbang dan tak mungkin lagi mendengarkan percakapan dua sahabatnya itu.
            “Apaan sih Rif. Aku berteman dengannya. Meski aku suka bukan berarti harus menjadi pacar kan? Kita masih sekolah Rif. Uang saja masih minta ngapain mikir pacaran. Nantilah kalau aku sudah jadi insinyur.” Aji tersenyum dan Arif tertawa.
            “Semoga apa yang kita cita-citakan tergapai ya, Ji.”
         “Amin. Pokoknya, Rif, Jangan bertanya apa yang telah negara berikan kepada kita? Tapi tanyalah pada diri sendiri apa yang telah kita baktikan pada negara? Ok?!”
            “Ok.!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UH TEKS EDITORIAL 2019

SOAL TO DETIK-DETIK 2016 DG PEMBAHASAN

Soal UM Tahun 2017