CERPEN " Sepuluh Penghuni UKS "

CERPEN

SEPULUH PENGHUNI UKS
Tidak semua yang pergi ke dokter sedang sakit. Orang yang gila kerja biasanya tidak merasa sakit kendati sedang sakit. Sebaliknya orang yang hypochondriac selalu merasa sakit kendati sehat. Dokter juga mempunyai otoritas yang besar untuk melabel sakit atau sehat pada pasiennya. Besarnya otoritas dokter inilah yang sering disalah artikan oleh pihak- pihak tertentu. Termasuk aku. Pernah menyalahgunakan keterangan sakit dari dokter. 
Pengalamanku ini membuatku ingin tahu, apakah semua yang datang dan beristirahat di UKS sedang sakit? Memang, UKS bukanlah rumah sakit, petugas UKS juga bukan seorang dokter. UKS merupakan suatu Unit Kesehatan Sekolah. Di tempatku mengajar, ruang UKS merupakan ruang tempat istirahat atau ruang pengobatan siswa yang sakit. 
Keingintahuanku ini juga dari ketaksengajaanku mendapati salah satu siswa yang dengan cepat membantingkan tubuhnya ke kasur begitu melihatku melintasi ruang UKS. Kemudian siswa tersebut berpura- pura tidur bahkan berpura- pura menggigil. Kudekati dia dan kusentuh jidatnya. Dingin. Tak ada tanda- tanda sakit. Tetapi dia tetap saja menggigil. Berusaha meyakinkanku bahwa dirinya sakit.
”Bu, saya minta izin tidak mengikuti pelajaran?”ucapnya lembut.
”Tidak apa- apa. Istirahat saja dulu kalau sakit, nanti ikut ulangan susulan saja.”
”Ulangan, Bu?!”sahutnya. Nada suaranya berubah. Sedikit tegas. 
”Iya. Minggu kemarin kan Ibu sudah bilang.” dia terdiam. Aku tahu, minggu kemarin dia alpa. Aku keluar UKS menuju kelas tempatku mengajar.
”Bu, saya ikut ulangan saja, izinnya nanti setelah ulangan,”ucap siswa yang berpura- pura sakit saat aku masih di pintu masuk kelasnya.
”Kamu kuat? Yakin tidak pingsan di kelas?”
”Insya Allah kuat dan sehat, Bu”
Kejadian itulah yang membuatku terinspirasi untuk menyelidiki alasan- alasan mereka menghuni UKS saat pelajaran berlangsung. Beberapa guru memang pernah mengelukan banyaknya siswa yang berpura- pura sakit dan meminta pembina UKS serta petugas piket UKS agar bersikap lebih tegas lagi. Tetapi sulit diterapkan. Aku sendiri sebagai pembina UKS tidak bisa menolak keluhan siswa yang berpura- pura sakit apalagi sesama siswa. Belum lagi kalau yang berpura- pura sakit adalah seniornya, tentuah petugas piket yang umumnya anggota PMR kelas XI tak berani berbuat macam- macam selain tunduk.
Aku mencari ide untuk bisa mengamati mereka. Memasang CCTV?  rasanya tidak mungkin karena membutuhkan biaya tidak sedikit, ribet, dan tidak rahasia lagi. Kuamati ruang UKS dari ujung ke ujung  dari atas kebawah tanpa terlewati satu jengkal pun. Mataku terhenti pada lubang kotak di langit- langit.

“Aha. Aku bisa mengintip dari atas sana,” teriakku dalam hati.
Keesokan harinya aku telah siap beraksi. Pagi-pagi kurang lebih pukul 06.00 aku telah sampai di sekolah. Suasana masih sepi. Tak satu pun siswa yang sudah datang. Handycame dan dua kaset kosong kubawa sebagai alat perekam. Bukan hanya itu, bekal makan pun telah kusiapkan. Dengan menggunakan tangga dan bantuan penjaga sekolah, aku naik ke atas langit- langit. Bau dan debu segera menyerangku. Bukan hanya itu, kecoa dan tikus lari ketakutan. Kubersihkan sedikit supaya lebih nyaman. Setelah aku merasa nyaman di atas. Penjaga sekolahku segera membawa pergi tangga itu dan kuminta beliau membantuku turun pukul 14.30. Hari ini, hari MGMP. Kebetulan MGMP hari ini libur. Aku juga tak ada jadwal mengajar boleh dikata  aku libur kerja. Jadi, tak perlu surat izin dan tak ada yang menanyakan ketakhadiranku.
Teet...teet...teet! Pukul tujuh pagi. Saatnya pelajaran pertama dimulai. Anak- anak yang masih di koridor sekolah segera berlarian menuju kelasnya masing- masing.
Pak Zidan, rekan kerjaku sebagai pembina UKS  membuka pintu. Di sampingnya tampak Aisah berdiri membungkuk sambil memegang perut.
”Aisah?” Gumamku heran. Handycame segera kuarahkan.
”Sakit perut, Aisah?”
” Iya, Pak?”
”Belum sarapan, ya?”
”Sudah kok, Pak”
”Datang bulan, ya?” Aisah tersenyum malu. ”Mau minum obat?” lanjut pembina UKS. Aisah meggeleng dan segera menempati dipan nomor 1 di pinggir tembok dekat pintu masuk.
”Kamu sakit apa lagi?!” suara Pak Zidan keras mengagetkan. Sungguh berbeda dengan ketika menyapa Aisyah.  
”Pusing, Pak?” jawabnya sambil menundukan kepala.
”Pusing kok tiap hari Rabu dan Sabtu.”
”Bener, Pak, pusing.”
”Pelajaan apa sekarang?”
”Bahasa Arab, Pak,”jawabnya agak ragu.
”Bahasa Arab lagi?” Pak Zidan mengernyitkan dahi. ”Kamu sudah lima kali izin dan berpura- pura sakit setiap kali pelajaran Bahasa Arab,” lanjutnya. ”Sekarang kamu istirahat di ruang Bapak saja,” perintahnya. Siswa yang di panggil Angga oleh teman- temannya itu terkejut dan mengangkat kepalanya.
”Ha?!” serunya lirih.
Pasien kedua gagal menjadi penghuni UKS, Pembina UKS yang kebetulan guru bimbingan dan konseling mengajaknya menuju ruang pribadinya. Tinggallah Aisah sendiri di UKS. Ia tampak mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Buku. Buku catatan dan buku paket biologi. Kemudian ia membacanya. Ia tampak serius mempelajari  buku tersbut, memejamkan mata sambil mulutnya komat kamit dan jari tangannya seolah menghitung sesuatu. Tak terdengar keluhan sakit dari bibirnya. Aisah juga berpura- pura sakit? Tanyaku dalam hati.
Tak lama kemudian lima siswa perempuan terengah- engah membopong temannya yang pingsan.
”Dipan dua, dipan dua,” ucap siswa yang kebagian mengangkat pundaknya. ”Kurang ke atas,”lanjutnya. Mereka mengela nafas seraya koor. Kemudian melepas sepatu, melonggarkan ikat pinggang dan juga membuka kerudung pasien. Ada juga yang ngipasi  dan memberi minyak wangi di bagian hidung pasien untuk merangsang kesadarannya.
Pasien ketiga ini sudah langganan pingsan. Namanya Rina Khoerunnisa, ia menderita lemah jantung. Kaget sedikit saja langsung ambruk. Dia pernah pingsan pada saat pelajaranku. Sebabnya kaget dengan teriakan teman- temannya yang bahagia karena pulang lebih awal.
”Belajar Biologi, ya?” sapa salah satu siswa pada Aisah. ”Tidak jadi ulangan,” lanjutnya. Dan Aisah tampak terkejut.
”Yang benar,Lu?”
”Tanya saja pada temen- temen,”
”Bener Aisah. Rina pingsan karena teriakan kami,” kata yang lain.
”Alhamdulillah,” syukur Aisah.”Kenapa tidak jadi ulangan?” Tanya Aisah.
”Bu Sari sakit. Tetapi seperti biasa, Ada tugas. Tugas mengerjakan LKS. Menyebalkan,”jawab yang lain lagi dengan nada kesal.
”Semoga lekas  sembuh,” do’a Aisah nyaris tak terdengar. Aisah segera turun dari dipan dan menengok Rina.
”Cepat siuman ya, Rin.” Bisik Aisah dan segera meninggalkan UKS setelah mengucapkan terima kasih atas info batalnya ulangan biologi pada temen- temen Rina.
”Jadi, kamu hanya mau belajar saja Aisah, tidak sakit?” Tanya siswa yang bernama Lulu dengan nada heran. Seperti halnya aku. Aisah tersenyum lucu dan berlalu.
Rina siuman diikuti ucapan syukur oleh temen- temennya. Satu persatu mereka meminta maf  dan segera pamit menuju kelas untuk mengerjakan tugas dari Bu Sari.
Pasien keempat datang dengan wajah sangat pucat seorang diri. Siswa yang satu ini sedang menjadi hot news. Banyak kasus yang menimpanya. Wajahnya cantik, bodynya bagus, sifatnya kalem dan sopan dengan guru. Bahkan terkesan pendiam, tapi gosip yang menerpanya sungguh mencengangkan. Namanya Dewi setiawati. Ia segera menempati dipan monor empat, paling dekat denganku. Aku bisa mengamatinya dengan jelas. Ia tampak sangat menderita. Segera diselimuti tubuhnya sendiri. Kemudian matanya terpejam. Tak lama hpnya berbunyi, ia membaca sms dan langsung menutupnya tanpa membalasnya terlebih dahulu. Hpnya berbunyi lagi, ia segera mematikannya. Kemudian berbunyi lagi hingga tiga kali.
”Jangan telpon sekarang,” ucapnya lirih kemudian menutupnya. Ia tampak termenung, di tatapnya tembok di sampingnya sambil menutuk- nutukkan hpnya di kasur. Entah apa yang dipikirkan, airmatanya mulai mengalir menganak sungai. Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena cinta. Pikirku megutip kalimat Seno Gumora Ajidarma. Kemudian ia batuk dan mual hingga terasa mau muntah, tapi tidak jadi, ia pun segera meminum air mineral yang disediakan untuk pasien, kemudian tiduran lagi sambil ngemut permen.
”Pak obat sakit gigi ada tidak?” Pak Zidan memasuki UKS diikuti seorang siswa. Dan segera mengambil obat yang di minta siswanya itu.
”Makasih ya, Pak. Oya, saya ikut disini dua jam ya, Pak?” pintanya lagi.
“Kenapa?”
“Sakit sekali gigi saya, Pak.” Pak Zidan pun tak bisa menolaknya. Ia pun segera meninggalkan ruangan.
”Kamu sakit gigi, Dji?” Tanya Rina.
”Ia. Rin, Aisah mana? Lulu bilang Aisah ada disini.”
”Ketahuan nih, kamu pura- pura sakit kan? Aisah sudah pergi dari tadi.” Adji tersipu malu. Semua anak kelas XI IPA bahkan sebagian guru juga tahu kalau Adji mencintai Aisah. Tetapi Aisah menolaknya dengan alasan tidak mau pacaran. Maklum anak rohis yang sedang giat- giatnya menyebarkan syiar agama Islam. Khususnya dalam pergaulan Islami. Pacaran baginya “HARAM”. 
“Rin sudah sehat belum?” Tanya Lulu yang masuk tanpa salam terlebih dulu.
“Masih sedikit pusing, Lu.”
“Obatnya sudah diminumkan?” Rina mengangguk. ”Masuk yuk, Bahasa Inggris nih, aku nggak mau masuk kalau kamu dan Hida tidak ada,” lanjutnya.
”Tapi aku masih lemas,” jawab Rina. Lulu pun menjadi pasien kelima. Ia tak mau ke kelas.
”Sudah sana masuk kelas, nanti siapa yang meminjami aku buku catatan kalau kamu tidak ikut pelajaran,” bujuk Rina.
”Tanpamu,tanpa Hida, siapa yang bisa mengerjakan soal- soal dari Pak Imam dengan cepat? Nggak ada. Beliau pasti marah. Dan kalau sudah marah menghinanya luar biasa. Aku nggak mau dengar omelannya.” 
”Sialan, kamu membohongi aku, Lu.”  kata Adji.
”Membohongi bagaimana?”Lulu tak mengerti. ”Oh, kasihan deh Loe. Nggak ketemu bidadari Aisah tercinta,” ledeknya setelah mengerti yang di maksud Adji. Lulu segera menempati dipan ketiga. Ia betul- betul tidak mengikuti pelajaran bahasanya David Becham. Ia menuggu di UKS hingga pelajaran itu selesai. Usai istirahat pukul 10.00 ia masuk kelas kembali bersama Rina dan Adji. Kini yang tetap tinggal hanyalah Dewi.
Dua siswa laki- laki masuk dan langsung menempati dipan nomor 1 dan 2.
”Mas, sakit apa?” Tanya siswa PMR yang bertugas hari itu.
”Aku ngantuk banget,” jawabnya tak peduli.
”Nggak boleh, Mas, nanti kulaporkan ke Pak Zidan lho,”
”Awas kalau kau lapor. Kumakan kau sepulang sekolah,” ancamnya. Tentu saja anak PMR itu ketakutan. Ia pun segera keluar. Tanpa melaporkannya. Anak- anak PMR tugasnya hanyalah mecatat data pasien dan menengok setiap pergantian pelajaran atau dua jam sekali. Kecuali ada pasien yang membutuhkan jasanya atau menderita penyakit yang agak parah maka siswa PMR bertugas menemani dan merawat aatau mengantar pulang atau juga menemani hingga keluarga pasian menjemput.
Kedua siswa itu langsung terlelap, rupanya mereka sangat ngantuk hingga tidurnya mendengkur. Ruang UKS tampak sepi. Dewi membuka hpnya dan segera menulis sms. Tak lama setelah pesan terkirim terdengar bunyi telpon. Ia segera mengangkatnya.
”Kamu harus bertanggung jawab! Tak lama lagi pasti aku dikeluarkan,” kata Dewi.
”Tenang? Kamu bilang tenang?” nada bicaranya mulai tinggi.
”Aku takut mati sebelum bertobat,”ucapnya pada orang yang menelpon.      
             ”Terserahlah,” ucap Dewi mengakhiri telponnya setelah lama mendengarkan telpon dari temennya itu. Ia kembali termenung dan menangis. Ia menatap dengan sayu langit- langit UKS. Kemudian ia melihatku. Dengan gesit aku menghindar, tapi...ia melompat dan teriak.
”Hantu! Hantu!” tentu saja siswa- siswa yang kelasnya berdekatan dengan UKS keluar dan menuju sumber suara. Pak Zidan yang berada di ruang BK berlari menuju UKS.
“Ada apa, Wi?”
“Saya melihat hantu, Pak?” jawabnya gemetar.
“Di mana?”
“Di langit- langit yang bolong itu, Pak?”. Pak Zidan dan beberapa siswa segera melihat langit- langit itu.”
“Cuma kain pengganjal genteng.”Gumam Pak Zidan. Situasi kembali terkendali. Sebagian menganggap Dewi mengigau karena badannya panas. Dewi tidak mau kembali ke UKS. Dia juga tidak mau disuruh pulang. Ia pun kembali ke kelas. Sementara kedua siswa yang terlelap sama sekali tak terganggu. Ia masih saja mendengkur. Luar biasa!
Pasien kesembilan tampak segar. Ia seperti baru cuci muka. Ia tak menempati dipan, ia hanya duduk di bangku panjang bersebelahan dengan meja tempat anak PMR mecatat data siswa yang menjadi pasien di UKS. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Make up! Mula- mula ia mengusap wajahnya dengan tissu, mengoleskan pelembab, dan mengoleskan bedak secara merata ke wajahnya yang sedikit berjerawat. Ia mengeluarkan hp. Rupanya seseorang telah menelponnya.
“Jadi. Jam 13.30 ya,” ucapnya. Kemudian telpon ditutup. Ia kembali melakukan aktivitas berdandannya.
”Mau kencan nih,” seorang siswi tiba- tiba masuk dan menyapanya. Yang disapa kaget dan tersenyum malu.
”Ngapain kamu kesini?”tanyanya sambil mengakhiri aktivitas dandannya.
”Dikeluarkan. Aku lupa belum mengerjakan PR.”
”Memangnya kamu pernah mengerjakan PR?” tanyanya menyindir.
”Maksudku lupa menyontek. Puas?!”
”Trus, ngapain bawa buku segala.”
”Aku disuruh mengerjakan di perpustakan. Tapi aku malas. Lagi pula sebentar lagi aku juga selesai. Kamu kenapa tidak ikut pelajaran malah dandan disini?”
”Aku bilang aku mau latihan upacara.”
”Kamu kan bukan pengurus OSIS?”
”Tidak apa- apa lagi pula Pak Sam tidak tahu kalau aku bukan pengurus OSIS. Buktinya dia memberikan izin.”
Teet...teet...teeeeet. Bel pulang berbunyi. Mereka merapikan diri dan segera ke luar menuju kelasnya masing- masing. Begitu pula kedua siswa lelaki yang tadi tidur dengan pulas. Mereka bergantian menuju westafel mencuci muka mereka dan segera menuju kelasnya. Sebelum pulang anak- anak PMR yang bertugas hari itu merapikan kembali seprei- seprei yang kusut dan membersihkan UKS. Aku merasa lega. Tugasku telah selesai. Hasilnya sungguh memprihatinkan. Aku tak menyangka. Sambil menunggu situasi aman untuk keluar dari persembunyian aku tidur di loteng. Jam 14.30 sesuai pesanku tadi penjaga sekolah masuk dengan membawa tangga. Aku turun dengan dibantu penjaga sekolah. Seluruh tubuhku terasa pegal dan sedikit gatal-gatal.
Aku berencana memberitahukan rekaman ini pada semua guru di rapat dinas Minggu depan. Tapi berita kematian Dewi yang mengenaskan akibat aborsi tiga hari setelah aku merekam mempercepat rencanaku. Guru- guru yang melihatnya sibuk membenarkan dugaan- dugaan selama ini. Sementara siswa- siswa yang lainnya akan ditindaklanjuti oleh wali kelas dan guru pembimbingnya.
Purwokerto,    Maret 2007

IDENTITAS DIRI


Linda Safarlina biasa disapa Bu Linda oleh siswanya. Menjadi  staf pengajar di MAN Purwokerto 2 sejak tahun 2005. Bercita-cita menjadi guru yang baik dan bijaksana.



Komentar

  1. Terkesan sangat nyata, karena saya membacanya sembari membayangkan setting tempat, tokoh, dan perwatakannya.
    #cerita ini bukan fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh maka itu adalah fakta :D
    #sepertinyasayatelatbacanya :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

UH TEKS EDITORIAL 2019

SOAL TO DETIK-DETIK 2016 DG PEMBAHASAN

Soal UM Tahun 2017