Antologi Puisi



ANTOLOGI PUISI


Puisi 1
GELISAH
Oleh Linda Safarlina

Aku benci televisi
Yang mengajarkan gengsi
Aku tidak suka acaranya
Yang merusak moral anak didik saya
Aku mengakui
Aku kalah saing dengan Tivi
Aku tak mampu menarik hati
Membuat mereka mencintai yang kuberi
Kubawakan layar kaca
Kuganti telenovela dan sinetron Indonesia
“Mari kita jelajahi negeri
Dengan Antropologi kita gali
Potensi diri, Kita kembangkan
Kebudayaan  yang beraneka ragam
Kita olah hutan dan ladang.
Lihat!
Suburnya Aceh
Hebatnya Jakarta
Indahnya Bali laksana surga
Luasnya belantara Irian Jaya”
Tapi,
“Ih, memalukan, Bu, memakai Koteka.
Saya bawa film baru
Amerika punya”

Purwokerto, 11 Juni 2005
Puisi 2
KABUT DI PAGI HARI
Oleh Linda Safarlina

Pagi ini kau tak seperti mentari
Aku pun begitu untukmu
Senyummu yang kunanti
Tak juga menghiasi pagi
           
Kau membuatku marah
Aku pun begitu untukmu
            Beberapa slentikanku
            Memerahkan telingamu
            Dan kau menangis.

Aku tak peduli lagi
Karena waktuku limit sekali
Kutinggalkan engkau
Dengan emosi
Sungguh emosi
Hingga tak kusadari kau masih dini

            Di sini aku terpenjara
            Oleh dosa yang kubuat padamu
            Anakku, maafkan ibu
            Yang tak bisa sempurna
            Membimbingmu.






Puisi 3
Jangan Begitu, Anakku
Oleh Linda Safarlina

Bagai terusuk duri
Ucapanmu tajam sekali
Tak layak untuk anak usia dini

Kemarahanmu memang salahku
Tapi sungguh tak kukira
Tangismu sedemikian rupa
Memecahkan kesejukan pagi
Yang baru kita rasa.

Mengapa engkau begini, Delisa?
Oh, maaf, bukan itu
Ini salah kami orang tuamu
Kurang lurus membimbingku

Kita masih punya waktu
Kami harus introspeksi
Dan engkau masih dini
Masih banyak kesempatan
Membekali diri dengan kebaikan

Maafkan kami, Delisa
Selalu saja tak sempurna
Menjadi orang tua





Puisi 4
IBU
Oleh Linda Safarlina

Kasihmu sepanjang masa
Kasihku kadang senyap kadang menggelora
Bergantung hati merasa
Kini aku telah menjadi sepertimu
Merasakan mengasihi dan merindu
Meski lelah dan sakit karenanya

Maafkan aku
Hanya bisa berdoa
“Semoga Alloh mengasihimu
Seperti engkau mengasihiku
Di waktu kecil”
Itu pun kadang terlewatkan
Terlupakan oleh banyaknya keinginan

Tapi aku tak henti berusaha
Melawan marah, benci, dan iri
Yang kadang merasuki

Tak cukup waktu membalas
Budi baikmu
Tak cukup harta membalas
Kasih sayangmu
Tak cukup
Tak!
Purwokerto,  Januari 2010



Puisi 5
Penjajah 1
Oleh Linda Safarlina

Tak bersenjata
Tak tampak rupa
Tak kenal masa
Tak juga bermassa

Satu versus Satu

Kau menyapa
Mengaku saudara
Menjamu segala rupa
Keindahan dan kemewahan

Dengan lembut kau bisikkan
Meluluhkan benteng pertahanan

Menghancurkan diri
Memporak –porandakan family
Membumi hanguskan negeri
Bahkan menenggelamkan dunia ini

Kau penjajah hati
Kau kuasai kami
Kami tunduk kepadamu
Nafsu

Kecuali hamba yang beriman
Kau dapat dikendalikan.
Purwokerto, 29 Oktober 2013

Puisi 6
KEKASIH
Oleh Linda Safarlina

Kurasa sejuk bukan karena pepohonan
Kurasa aman bukan karena penuh rudal dan senapan
Kurasa bahagia bukan karena harta
Kurasa indah bukan karena senja memerah

Tapi
Karena

Tutur katamu
Keimananmu
Kehadiranmu
dan senyummu
Kekasih

Purwokerto, Januari 2006














Puisi 7
Cerita Lalu
Oleh Linda Safarlina
                 
Puluhan musim telah berganti
Kenangan bersamamu tak juga pergi
Semakin dilupakan kian terpatri
Padahal, dulu….

Sakitnya dikhianati tak terperi
Hingga maaf tak kuberi
Aku memilih pergi meninggalkanmu
Berijabqobul dengan yang baru
Bahagia bisa melupakanmu.

Tak kukira takdirNya
Mempertemukan kita kembali
Meski masing-masing ada yang memiliki
Debar jantung ini sulit terkendali
Meloncat-loncat kian kemari
Memungut serpihan-serpihan kenangan
Yang tak hilang

Kini, cerita lama kembali menyapa
Menggoda hati yang belum tertata
Purwokerto, 18 September 2013







Puisi 8
Maut
Oleh Linda Safarlina

Engkau  pasti menyapa semua manusia
Engkau datang dengan berbagai cara
Tak peduli masa tak peduli di mana
Engkau sangat menyakitkan
Tak terkecuali orang beriman
Bila ditunggu engkau abaikan
Bila dilupakan engkau datang

Maut,
Bila engkau hendak menyapa
Kumohon ketuk pintu terlebih dulu
Bermalamlah dua, tiga hari di tempatku
Ceritakan bagaimana engkau akan mengajakku
Aku tak bermaksud menghindarimu
atau menolakmu,
Hal itu jelas aku tak mampu
Aku hanya ingin pergi bersamamu
Dengan wajah berseri
meski sakit tak terperi
Purwokerto, 22 September 2012









Puisi 9
Pagi yang Tak Terkendali
Oleh Linda Safarlina

Apa yang terjadi pagi ini
Tak kuketahui
Sekelompok polisi
Menyambangi sekolah kami
Diikuti sekelompok organisasi
Katanya
Ada yang menyinggung hati
Sekelompok organisasi
Yang tersinggung itu
Meminta pertanggungjawaban diri.
Hal ini tak pernah kuduga
Karena lidahku pun sering tak terjaga
Ya Alloh, Engkau yang kuasa
Semua yang terjadi telah
Engkau ketahui.
Bimbing kami,
Satu kan kami,
Jangan biarkan
Huru-hara ini terjadi.

Purwokerto, 17 September 2015








Puisi 10
Akibat Lidah
Oleh Linda Safarlina

Lidah memang tak bertulang
Yang terucap tak lagi dikenang
Namun
Lidah juga tajam bak pedang
Menusuk, merobek hati sasaran

Semua terjadi
Karena mulut tak terkunci
Para hati yang tersakiti
Meminta pertanggungjawaban diri
Tapi takpernah terduga
Begini akibatnya
Yang tak bersalah terkena imbasnya
Menumbuhkan sakwasangka
Hingga seperti tak ada akhirnya.
Kami belum dewasa
Belum bisa menghargai perbedaan yang ada
Mengapa Engkau membiarkan ini terjadi?
Sesama saudara saling menyakiti
Di antara kami merasa menang sendiri.

Purwokerto, 18 September 2015






Puisi 11
Wajah Pendidikan Kita
By Linda Safarlina, S. Pd.

Gedung-gedung sekolah mengangkasa
Perpustakaan, laboratorium, dan sarana olahraga melengkapinya
Jam belajar pun seperti kereta
Menjadi juara oliempiade dunia sudah biasa
Puluhan, ratusan, jutaan sarjana telah tercipta

Tetapi mengapa
Kebodohan dan kemiskinan masih menjadi masalah utama?
Mari kita introspeksi
Mengapa ini terjadi
Di tengah-tengah suburnya alam kita kelaparàn
Di tengah-tengah air bersih yang melimpah kita kehausan
Di tengah-tengah hutan emas, wanita Indonesia miskin perhiasan
Mengapa kekayaan yang ada belum mampu menyejahterakan sebagian dari kita?
Mengapa hak pendidikan yang tak perlu diperjuangkan belum mampu membebaskan dari kebodohan?
Mengapa jutaan buku yang tercipta belum mampu membebaskan rakyat dari rabun membaca?
Mungkin salah kami, guru dan orang tua
Yang hanya bangga bila anak didiknya menjadi dokter, pejabat, dan teknokrat
dengan menyepelekan petani, nelayan dan pedagang.

Kesuksesan pendidikan adalah kemandirian

Kemandirian kita masih menjadi angan
Sekalipun tinggi jabatan tetap menjadi karyawan
Ubahlah cara pandang
Jangan remehkan pemuda yang mampu mengubah seonggok jagung menjadi maizena.
Mengubah irisan kayu jadi hiasan berharga

Tetapi,
Pendidikan bukan hanya berorientasi pada materi
Pendidikan berorientasi pada perubahan ke arah perbaikan
Perbaikan di segala bidang
Perbaikan pada moral kita
Itu yang utama

Kita bangga pada Rosul kita
Kita bangga pada para pahlawan negeri
Kita bangga pada guru guru kita
Tapi mengapa
Kita tidak mengikuti jejaknya?

Pendidikan kita
Mengikuti siapa?

Bila nilai tak lagi bernilai
Pendidikan hanyalah tempat mainan




Puisi 12
Ujian Naik Kelas
Oleh Linda Safarlina

Mendung telah pergi
Tanpa menyisakan gerimis
Awan kembali menyapa
Tetapi aku menangis

Lembar ujian diberikan
Setelah ikrar yang tersembunyi
Tak luput dari catatan
Bahkan dilaporkan padanya Ilahi

Tak ada waktuku belajar lagi
Sikap ini jawaban lembar ujian
Waktu merambat pergi

Aku menangis tanpa kata
Setiap saat aku bertanya
Aku naik kelas atau tidak?
Mengapa dada ini terasa sesak?

Selasa, 26 September 2017
















Komentar

Postingan populer dari blog ini

UH TEKS EDITORIAL 2019

SOAL TO DETIK-DETIK 2016 DG PEMBAHASAN

Soal UM Tahun 2017