Artikel giru

Membaca sebagai Cermin Masyarakat Berbudaya
Oleh: Linda Safarlina
Membaca mempunyai peranan sosial yang amat penting dalam kehidupan manusia sepanjang masa. Mengapa? Pertama, bahwa membaca merupakan suatu alat berkomunikasi yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat berbudaya. Kedua, bahwa bahan bacaan yang dihasilkan dalam setiap kurun zaman dalam sejarah sebagian besar dipengaruhi oleh latar belakang sosial tempatnya berkembang. Ketiga, bahwa sepanjang masa sejarah terekam, membaca telah membuahkan dua kutub yang amat berbeda. Di satu pihak membaca merupakan suatu daya pemersatu yang ampuh dan di pihak lain  membaca telah bertindak sebagai suatu daya pemecah belah. Demikian, membaca telah membuahkan kutub-kutub yang konstruktif maupun yang destruktif. Oleh karena itu, salah satu yang kita hadapi kini adalah menentukan cara-cara agar membaca itu dapat dengan baik mempromosikan kesejahteraan pribadi dan kemajuan kelompok (Grey,1957:1099).
            Kemampuan membaca dengan baik merupakan prestasi seseorang yang paling berharga. Dunia kita merupakan dunia baca (Bond, Pinker & Wasson,1979:3). Kian banyak kita membaca kian banyak informasi yang kita peroleh kian banyak ilmu pengetahuan yang kita miliki.
            Meningkatkan kecepatan membaca
Teknik membaca cepat yang umum dikenal orang diantaranya teknik baca-pilih (selecting), teknik baca-lompat (skipping), teknik baca-layap (skimming, dan teknik baca-sekilas (scanning).
Membaca cepat bisa kita latih sesuai dengan kemampuan kita. Cara untuk meningkatkan kecepatan membaca antara lain; menghindari terjadinya hambatan membaca; melebarkan jangkauan mata dengan berupaya sekali pandang mencapai 3-4 kata atau sekelompok frase; melihat dengan otak dan langsung menangkap dengan arti.
Hambatan yang mungkin mempengaruhi kecepatan membaca antara lain; membaca dengan bersuara (vokalisasi); menggerakkan bibir; menunjuk kata demi kata dengan jari; menggerakkan kepala ke kiri ke kanan (mengikuti tulisan yang dibaca); regresi (membaca ulang yang sudah dibaca); dan melafalkan dalam batin atau pikiran.
Untuk mendorong meningkatkan keterampilan membaca, langkah pertama adalah menghilangkan / menyingkirkan mitos-mitos negatif seperti membaca itu sulit; tidak boleh menggunakan jari ketika membaca; membaca dengan mengeja kata perkata; membaca perlahan-lahan supaya dapat memahami isinya. Langkah kedua, mengganti mitos-mitos di atas dengan berpikir positif bahwa membaca itu mudah; saya adalah kutu buku; dan saya dapat membaca cepat dan memahami apa yang saya baca.
Steve Snyder, instruktur membaca menyamakan kecepatan membaca dengan bermain ski, “ Kalau Anda bermain ski dengan tenang dan perlahan-lahan, Anda tidak perlu terlalu memperhatikan apa yang sedang Anda lakukan. Pikiran Anda akan berkeliaran kemana-mana. Tetapi bila Anda bergerak dengan sangat cepat menuruni lembah, Anda harus memusatkan perhatian. Itulah sebabnya Anda sebenarnya akan memahami bacaan Anda secara lebih baik kalau membacanya dengan cepat,” (Bobby De Porter & Mike Hernacki, 2000:269).
Membaca bermanfaat bagi perkembangan otak. Kita bisa merasakannya setelah membaca. Membaca memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan, meningkatkan kemampuan berimajinasi, bisa menemukan hal baru yang lain dari biasanya, mengembangkan kreativitas, menguatkan kepribadian, mempertajam daya analisis dan mengembangkan pola berpikir.
Membaca cermin masyarakat berbudaya
Agaknya tidak berlebihan bila kita berkata bahwa taraf minat baca siswa dan mahasiswa kita turut pula menentukan taraf kemajuan masa depan bangsa dan negara kita.
Mengutip data dari Research Institue of Publication, dikatakan bahwa salah satu yang membuat masyarakat Jepang memiliki keunggulan literer adalah akses yang sangat mudah dan dekat dengan sumber bacaan. Tidak kurang dari 23.000 toko buku dan perpustakaan public bertebaran di seantero wilayah. Selain itu, lebih dari 4.300 penerbit aktif setiap tahun menghasilkan tidak kurang dari 65.000 judul buku. Bahkan data tahun 2003 menunjukkan angka produksi 72.608 judul buku (Japan Economic Monthly, vol.4, July 2004). Gerakan tachiyomi (membaca sambil berdiri meski tidak membeli) menjadi pemandangan biasa dihampir semua toko buku di Jepang, baik yang menjual buku baru maupun buku bekas.
Bangsa yang tak membaca adalah bangsa yang meraba-raba dalam gelap. Bangsa yang tak membaca adalah bangsa yang kurang berpendidikan, berwawasan terbatas, dan bisa jadi melakukan kesalahan yang berulang-ulang. Sungguh tak mengherankan jika selama ini kita mengeluhkan rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia. Sama sekali tak aneh jika sebagai bangsa kita selalu dianggap kelas dua, apalagi dengan semakin tak menentunya pemulihan ekonomi yang menjadi kian berkepanjangan. Lengkap dengan menumpuknya persoalan hukum dan politik yang belum juga terselesaikan.
Apakah dengan tingginya budaya membaca negara kita akan otomatis bangkit dari krisis multidimensi ini? Tentu saja tidak hanya bertumpu pada budaya membaca saja. Namun ada harapan yang tumbuh, jika masyarakat banyak berkutat dengan buku-buku. Ada semacam “titik terang di cakrawala” jika orang-orang kebanyakan lebih tertarik dengan buku-buku daripada sinetron, jika para ABG dan remaja kita lebih mengidolakan –katakanlah—Kahlil Gibran, Habiburrahman, Chairil Anwar, N. H Dini, Andrea Hirata, Tere Liye dan J.K Rowling daripada Natasha Wilona, Prilly Latuconsina, Raffi Ahmad, dan Stefan William atau jika anak-anak kecil lebih suka membaca atau dibacakan buku daripada menonton televisi atau bermain gadged 
Buku-buku yang banyak tidak akan ada gunanya bila kita membiarkannya begitu saja. Maka, bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. 

Sumber
Lestari, Prembayun Miji. – Bikin Kamu Tergila-gila Membaca. Yogyakarta: Book/Magz.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UH TEKS EDITORIAL 2019

SOAL TO DETIK-DETIK 2016 DG PEMBAHASAN

Soal UM Tahun 2017